Senin, 11 April 2011

Membincang Benturan Antar Peradaban Huntington

Sebuah Dunia Peradaban

Berakhirnya perang dingin membawa konsekuensi yang sangat nyata bagi perpolitikan dunia. Hampir semua tokoh/pemikir dunia mengemukakan prediksi pemikirannya untuk menyongsong era baru perpolitikan internasional paska perang dingin. Beberapa yang patut kita cermati dan menjadi perbincangan publik adalah tesis Fukuyama tentang akhir sejarah. Kita dapat meyaksikan demikian kata Fukuyama, ...akhir sejarah yang demikian itu: yakni akhir dari evolusi ideologis umat manusia dan universalisasi demokrasi liberal Barat sebagai bentuk final dari (sistem) pemerintahan umat manusia (hal. 16). Di sini Fukuyama menegaskan bahwa bentuk ideal pemerintahan telah ditemukan, dan demokrasi liberal telah menang, tidak ada lagi konflik ideologi, begitu juga konflik-konflik besar lainnya.

Konsepsi yang lain adalah tentang term dua dunia yang dikemukakan oleh Max Singer dan Aaron Wildavsky. Dia memprediksi, para sarjana dunia akan banyak mempunyai kecenderungan untuk berpikir melalui term-term dua dunia, Timur- Barat, Utara-Selatan, pusat-pinggiran, dst. Pembagian yang paling umum juga terlihat antara negara-negara kaya (modern dan berkembang) dan negara-negara miskin (tradisional, terbelakang, atau sedang berkembang).

Konsepsi ketiga tentang peta politik paska perang dingin adalah sebagaimana yang tergambar dalam teori realis hubungan internasional. Menurut teori ini, setiap negara sangat bergantung pada aktor-aktor penting yang berperan dalam urusan internasional. Institusi internasional mempunyai peran yang sangat signifikan dalam mengatur dan membatasi apa yang dilakukan oleh negara. Untuk mengantisipasi setiap ancaman yang mungkin dihadapi dari negara lain, suatu negara memperkuat kekuatannya dan atau melakukan aliansi-aliansi dengan negara-negara lain serta berusaha menguasai institusi internasional tersebut.

Dunia yang chaos, menjadi prediksi berikutnya. Hal ini disebabkan karena semakin melemahnya kekuatan negara hingga muncul gagal negara . Indikasinya adalah ambruknya otoritas pemerintahan, meningkatnya konflik antar-suku, antar-etnis, dan antar-agama, munculnya mafia kejahatan internasional, meningkatnya jumlah pengungsi hingga mencapai berpulu-puluh juta, menyebarnya terorisme, dan merajalelanya pembantaian dan pembersihan etnis. (hal 20)
Dan, tesis Hutington lebih condong pada konsepsi yang keempat, di mana dia memunculkan tesis benturan peradaban? . Hipotesis yang dikemukakan adalah bahwa sumber utama konflik di dunia baru ini bukanlah ideologi atau ekonomi, budayalah yang akan menjadi faktor pemecah belah umat manusia dan sumber konflik yang dominan. Negara-bangsa masih menjadi aktor dominan dalam percaturan dunia, namun konflik utama dari politik global akan terjadi antara negara dan kelompok dari peradaban yang berbeda.

Lalu, apa yang dimaksud dengan peradaban? Huntington memberi definisi bahwa peradaban adalah sebuah entitas terluas dari budaya, yang teridentifikasi melalui unsur-unsur obyektif umum, seperti bahasa, sejarah, agama, kebiasaan, institusi, maupun melalui identifikasi diri yang subyektif. Budaya di sebuah desa di Italia Selatan mungkin berbeda dengan yang di Italia Utara, tetapi keduanya bisa disebut budaya Italia yang membedakan mereka dari desa-desa di Jerman. Komunitas Eropa, memiliki ciri-ciri budaya yang sama yang membedakan mereka dari komunitas Arab atau Cina. Meskipun demikian, bangsa Arab, Cina dan Barat, bukanlah bagian dari sebuah entitas budaya yang lebih luas. Mereka membentuk peradaban. (hal. 42)

Sepanjang sejarah umat manusia, sebuah peradaban mengalami pasang surut. Terkadang, suatu peradaban mampu berkembang dengan pesat, mampu beradaptasi dan mempengaruhi kehidupan manusia. Akan tetapi, banyak juga peradaban yang hilang ditelan bumi dan terkubur di dalam pasir-pasir masa, tak lagi relevan dengan kehidupan manusia. Peradaban yang mampu bertahan (Peradaban Mayor) antara lain: Peradaban Tionghoa, Peradaban Jepang, Peradaban Hindu, Peradaban Islam, Peradaban Ortodoks, Peradaban Barat, Peradaban Amerika Latin, dan Peradaban Afrika.

Mungkinkah lahir sebuah peradaban universal? Ide yang dikembangkan oleh V.S. Naipaul ini berasumsi bahwa suatu budaya senantiasa tidak lepas dari kemanusiaan dan adanya penerimaan secara umum terhadap nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, orientasi-orientasi, perilaku-perilaku, dan institusi-institusi oleh umat manusia di seluruh dunia. Dalam hal ini terjadi proses modernisasi dan westernisasi. Dengan bermodal kemenangan ideologis paska perang dingin, Barat kemudian melakukan hegemoni budaya melalui jaringan komunikasi global. Misalnya, 88 dari 100 film yang beredar di seluruh dunia pada tahun 1993 adalah film-film Amerika (Hollywood), Pada tahun 1994, CNN Internasional menyatakan memiliki 55 juta pemirsa setia (1% dari seluruh penduduk dunia).

Ada 3 tanggapan/respons atas terjadinya upaya universalisasi peradaban melalui modernisasi dan westernisasi. Pertama, menolak dua-duanya. Sejak 1542 hingga pertengahan abad XIX, Jepang merupakan negara yang secara terang-terangan menolak Barat. Demikian juga Cina. Penolakan Cina tidak lepas dari anggapan bahwa Cina merupakan kerajaan Timur yang memiliki keunggulan kebudayaan dibanding kebudayaan lain. Kedua, menerima kedua-duanya, atau sering disebut Herodianisme. Tokoh dibalik sikap ini adalah Mustafa Kemal Ataturk, yang ingin menciptakan Turki Baru diatas puing-puing kekuasaan Ustmani. Ketiga, sikap reformisme, dengan menerima modernisasi tetapi menolak westernisasi.

Pergeseran Peradaban

Keunggulan dan kemenangan Barat selama perang dingin harus dibayar cukup mahal, karena secara internal terjadi kemerosotan yang luar biasa di bidang politik, ekonomi, maupun militer. Barat kini dihadapkan pada persoalan pertumbuhan ekonomi yang lamban, populasi yang stagnan, pengangguran, defisit negara yang sangat besar, kemerosotan etika kerja, tingkat pendapatan masyarakat yang rendah, dan di berbagai wilayah, termasuk USA, terjadi disintegrasi sosial, meningkatnya jumlah penggunaan obat-obatan terlarang, dan berbagai bentuk kejahatan.

Dalam bidang ekonomi, kondisi di atas dimanfaatkan oleh Cina dan India untuk menguasai dua pertiga manufacturing output dunia. Di bidang militer, pada 1920, Barat jauh melampaui negara manapun dalam kaitannya dengan empat dimensi kekuatan militer (jumlah personel, perlengkapan dan sumberdaya, teknologi/kecanggihan, dan organisasional koherensi, kedisiplinan, dan moralitas pasukan). Namun pada tahun-tahun berikutnya, kekuatan militer negara non-Barat mampu mengimbangi dalam hal jumlah personel dan kecanggihan senjata.

Pada tahun 1980-an dan 1990-an, pribumisasi menjadi mode di seluruh dunia non-Barat. Tema sentral di kalangan umat Islam adalah re-Islamisasi, di India terjadi Hinduisasi dalam kehidupan sosial politik, di Asia Timur, kalangan pemerintah menawarkan Konfusianisme, para tokoh politik dan kaum intelektual berbicara tentang Asianisasi . Sedang Jepang terobsesi dengan Nihonjinran atau teori tentang Jepang dan orang Jepang. Cina sendiri menguatkan apa yang disebut Ti Yong yakni menjadi kapitalis dan terlibat dalam ekonomi dunia, dipadu dengan otoritarianisme politis dan re-komitmen terhadap kebudayaan tradisional Cina. (hal 177)

Kalau di Asia Timur, kebangkitan peradabannya didasarkan pada peningkatan ekonomi, dan dikenal dengan istilah Afirmasi Asia, berbeda dengan kebangkitan Islam. Kebangkitan Islam dipengaruhi oleh faktor demografi, yakni peningkatan jumlah penduduk muslim yang mencengangkan selain pengaruh melonjaknya harga minyak. Antara 1965-1990, penduduk Maghribi meningkat dari 29,8 milyar menjadi 59 milyar. Di Asia Tengah (1970-1993) naik 2,9%, di Tajikistan 2,6%, di Uzbekistan 2,5%, dst. Pada 1980, penduduk muslim sekitar 18% dari penduduk dunia. Pada 2000, menjadi 20% dan 30% pada tahun 2025. (hal 1999).

Terbentuknya Tatanan Peradaban

Pada tahun 1990-an, terjadi gelombang krisis identitas global. Hampir setiap orang (negara-bangsa) selalu dihadapkan pada pertanyaan, siapakah kita? Berada di pihak manakah kita? Dan Siapa musuh kita? . Krisis ini tidak hanya menghantui negara-bangsa baru bekas pecahan Uni Soviet atau Yugoslavia, tetapi hampir di seluruh wilayah dunia. (hal. 218).

Krisis identitas tersebut, banyak disikapi oleh negara-bangsa dengan membetuk kerja sama ekonomi dan kebudayaan di tingkat regional, atau sering disebut Regionalisme . Terdapat empat tingkatan asosiasi antarnegara , dari yang kurang sampai yang paling integrated, yaitu : 1. wilayah perdagangan bebas, 2. kepentingan bersama, 3. pasar bersama, dan 4. kesatuan ekonomi ( hal. 230).

Uni Eropa, melalui pasar bersama dan pelbagai elemen ekonomi, mampu bergerak lebih jauh dalam melakukan integrasi. ASEAN, pada tahun 1992 mulai bergerak kearah pengembangan wilayah perdagangan bebas . Organisasi Regional di Asia Timur atau EAEC (East Asia Economic Caucus) yang terdiri dari anggota ASEAN, Myanmar, Taiwan, Hongkong, Korea Selatan, Jepang dan Cina, melandaskan pada kesamaan budaya sebagai perekat.

Sementara Pakistan, Iran, dan Turki dan enam negara bekas Uni Siviet (1977) menghidupkan kembali kerjasama ekonominya dengan nama Economic Cooperation Organization (ECO). Negara-negara Visegrad, yakni Polandia, Hongaria, Republik Chechnya dan Slovakia, membentuk Perdagangan Bebas Eropa Tengah (Central European Free Trade Area). Pada 1995, Brazil, Argentina, Uruguai dan Paraguai bergabung ke dalam Mercosur dan mengintegrasikan ekonominya.

Benturan Antarperadaban

Kemenangan ideologi liberalisme demokratik atas sosialisme menimbulkan kepercayaan diri yang luar biasa di kalangan masyarakat Barat, sehingga mereka menganggap ideologinya bersifat universal. Barat, khususnya Amerika Serikat, kemudian menjadi bangsa misionaris yang memaksa bangsa-bangsa non-Barat mau menerapkan nilai-nilai demokrasi Barat, pasar bebas, pemerintahan yang terbatas, menjunjung tinggi HAM, individualisme, aturan hukum, serta pemisahan agama dan negara. Padahal, nilai-nilai tersebut acapkali tak bergaung dalam budaya Islam, Konghucu, Jepang, Hindu, Budha, ataupun Ortodoks (hal. 336).

Konflik antara Islam dan Barat (kristen) pada akhir abad XX dapat dilihat dari beberapa faktor: Pertama, pertumbuhan penduduk muslim yang begitu pesat menyebabkab terjadinya banyak pengangguran dan mendorong anak-anak muda masuk anggota kelompok Islamis dan bermigrasi ke Barat. Kedua, kebangkitan Islam memberi keyakinan bahwa nilai-nilai Islam lebih luhur daripada Barat. Ketiga, intervensi Barat terhadap konflik-konflik di dunia Islam menimbulkan rasa sakit hati . Keempat, runtuhnya komunisme menyebabkan Barat dan Islam saling berhadap-hadapan sebagai musuh. Kelima, terjadinya hubungan dan percampuran antara Islam dan Barat menstimulasi identitas keduanya yang berbeda. (hal. 392).

Konflik antara Konfusianisme Asia (Jepang dan Cina) dengan Barat (Amerika Serikat) dapat dilihat dari 3 faktor; Pertama, interaksi antara masyarakat Asia dengan masyarakat AS dalam bentuk komunikasi, hubungan dagang, penanaman modal dan kerjasama dalam bidang pengetahuan justru penimbulkan saling curiga/keganjilan. Kedua, Kerjasama AS-Jepang atas ancaman Soviet pada 1950-an, dan kerjasama AS-Cina pada 1979, pudar setelah berakhirnya perang dingin. Ketiga, perkembangan ekonomi Asia Timur memicu terjadinya balance of power.antara Asia dan AS.

Implikasi Bagi Masa Depan Peradaban

Buku ini mengajukan hipotesis-hipotesis yang menyatakan bahwa perbedaan antara peradaban adalah nyata dan penting; kesadaran peradaban meningkat; konflik peradaban akan menggantikan konflik ideologi dan bentuk konflik lainnya sebagai bentuk konflik global yang dominan; hubungan internasional yang dalam sejarah merupakan sebuah permainan yang dimainkan didalam peradaban Barat, akan semakin menjadi tidak Barat lagi dan menjadi sebuah permainan dimana peradaban non-Barat menjadi aktor dan bukan semata-mata obyek.

Hipotesis-hipotesis tersebut mempunyai implikasi jangka pendek dan jangka panjang bagi Barat. Dalam jangka pendek, Barat akan mempromosikan kerjasama dengan Eropa dan Amerika Utara karena kedekatan budaya, mempromosikan dan memelihara hubungan dengan Rusia dan Jepang, membatasi ekspansi kekuatan militer negara-negara Konfusian dan Islam, memanfaatkan berbagai perbedaan dan konflik antara Konfusian dan Islam, memperkuat dominasi intervensi pada lembaga-lembaga internasional.

Dalam jangka panjang, peradaban non-Barat berusaha untuk menjadi modern tanpa Barat. Sampai saat ini yang paling berhasil adalah Jepang. Peradaban non-Barat akan terus berusaha meraih kesejahteraan, teknologi, mesin-mesin, dan persenjataan. Oleh karena itu, Barat juga harus semakin mengakomodasi peradaban non-Barat ini. Barat harus senantiasa memelihara kekuatan ekonomi dan militer yang diperlukan unruk melindungi kepentingannya dalam hubungannya dengan peradaban-peradaban tersebut. Hal ini juga mensyaratkan Barat untuk mengembangkan pemahaman yang lebih baik atas agama-agama besar dan asumsi filosofis yang mendasari peradaban lain.

Di masa yang akan datang, tidak akan ada peradaban yang universal, melainkan sebuah dunia dengan peradaban yang berbeda-beda, dan setiap peradaban harus belajar untuk hidup berdampingan dengan yang lainnya.

SUMBER : http://antinekolib.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar