Dan jika berbicara tentang motif yang melatar belakangi lahirnya proses peng-hegemonian Barat ini, banyak pengamat yang kemudian menyatakan bahwa proses tersebut lahir sebagai sebuah kelanjutan dari suatu proses benturan peradaban yang kali ini melibatkan peradaban Islam dan peradaban Barat sebagai lakon utamanya.
Dan realita yang demikian itu sesungguhnya pernah diramalkan oleh seorang guru besar studi-studi strategis, Harvard University bernama Samuel P. Huntington. Dalam tesisnya yang kemudian melatarbelakangi lahirnya teori benturan peradaban (clash of civilization) tersebut, Huntington menyatakan bahwa sumber utama munculnya konflik-konflik yang terjadi dalam dunia baru bukanlah lagi dilatar belakangi oleh faktor ideologi dan ekonomi melainkan lebih dilatar belakangi oleh faktor kebudayaan dimana faktor budaya inilah yang kelak akan memilih-milih manusia serta menjadi sumber konflik yang dominan.
Huntington sendiri mendasarkan pemikiran tentang lahirnya benturan peradaban ini-paling tidak- pada enam alasan :
1. Pertama, bahwa perbedaan peradaban antara Negara-negara dunia tidak hanya nyata, tetapi juga sangat mendasar. Dan selama berabad-abad lamanya, manusia di dunia memang tengah disuguhi sebuah fakta bahwa memang perbedaan peradaban adalah pemicu utama lahirnya perbenturan (konflik) yang jangka waktunya relatif panjang dan lama.
2. Alasan kedua, tentu saja ialah adanya kenyataan bahwa dunia ini memang sudah semakin menyempot sehingga interaksi antar peradaban yang rawan konflik itu pun menjadi suatu keharusan.
3. Alasan ketiga ,bahwa proses modernisasi ekonomi dan perubahan sosial diseluruh dunia telah mengakibatkan tercerabutnya masyarakat dari akar identitas lokal yang pada hakikatnya telah ada jauh lebih lama.
4. Alasan keempat, ialah bahwa munculnya dominasi peran Barat telah melahirkan iklim de-westernisasi di dunia non Barat.
5. Alasan kelima Huntingtoon adalah bahwa faktor budaya yang berbeda adalah cenderung lebih sulit disatukan dibandingkan jika yang berbeda itu adalah faktor politik dan ekonomi.
6. Dan alasan terakhir mengapa terjadi suatu perbenturan kebudayaan adalah karena kesadaran peradaban ini bukanlah reason d’ etre utama terbentuknya regionalism politik atau ekonomi
Dan realita yang demikian itu sesungguhnya pernah diramalkan oleh seorang guru besar studi-studi strategis, Harvard University bernama Samuel P. Huntington. Dalam tesisnya yang kemudian melatarbelakangi lahirnya teori benturan peradaban (clash of civilization) tersebut, Huntington menyatakan bahwa sumber utama munculnya konflik-konflik yang terjadi dalam dunia baru bukanlah lagi dilatar belakangi oleh faktor ideologi dan ekonomi melainkan lebih dilatar belakangi oleh faktor kebudayaan dimana faktor budaya inilah yang kelak akan memilih-milih manusia serta menjadi sumber konflik yang dominan.
Huntington sendiri mendasarkan pemikiran tentang lahirnya benturan peradaban ini-paling tidak- pada enam alasan :
1. Pertama, bahwa perbedaan peradaban antara Negara-negara dunia tidak hanya nyata, tetapi juga sangat mendasar. Dan selama berabad-abad lamanya, manusia di dunia memang tengah disuguhi sebuah fakta bahwa memang perbedaan peradaban adalah pemicu utama lahirnya perbenturan (konflik) yang jangka waktunya relatif panjang dan lama.
2. Alasan kedua, tentu saja ialah adanya kenyataan bahwa dunia ini memang sudah semakin menyempot sehingga interaksi antar peradaban yang rawan konflik itu pun menjadi suatu keharusan.
3. Alasan ketiga ,bahwa proses modernisasi ekonomi dan perubahan sosial diseluruh dunia telah mengakibatkan tercerabutnya masyarakat dari akar identitas lokal yang pada hakikatnya telah ada jauh lebih lama.
4. Alasan keempat, ialah bahwa munculnya dominasi peran Barat telah melahirkan iklim de-westernisasi di dunia non Barat.
5. Alasan kelima Huntingtoon adalah bahwa faktor budaya yang berbeda adalah cenderung lebih sulit disatukan dibandingkan jika yang berbeda itu adalah faktor politik dan ekonomi.
6. Dan alasan terakhir mengapa terjadi suatu perbenturan kebudayaan adalah karena kesadaran peradaban ini bukanlah reason d’ etre utama terbentuknya regionalism politik atau ekonomi
BERBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SUATU PERBENTURAN PERADABAN
Apapun motif, model dan pihak yang terlibat dalam konflik, maka keberadaan suatu realitas dunia yang penuh konflik ini kelak akan menimbulkan aneka bencana kemanusiaan yang begitu dahsyat, di mana Negara-negara berkembang –termasuk negera Muslim- akan menjadi korban utamanya.
Adanya konflik yang dipicu oleh semangat imperialisme telah pula membuat jurang pemisah antar Negara yang mendominasi dan Negara yang didominasi yang dulunya telah menganga itu kini menjadi semakin lebar. Tentu saja hal ini tidak boleh lagi dibiarkan oleh kita selaku bagian dari masyarakat dunia mengingat jika hal itu terjadi maka bukan mustahil akan lahir di dunia ini suatu situasi dimana kelompok dominan selaku the first class bisa sewenang-wenang atas kelompok Negara yang notabenenya di dominasi. Oleh karena itu, maka banyak pakar kebudayaan dunia yang kemudian mencoba memecahkan dilema ini dengan merumuskan aneka solusi penyelesaian.
Dari semua solusi itu sendiri kemudian dapat disimpulkan bahwa setidaknya ada dua model penyelesaian dalam rangka meminimalisir efek akibat adanya suatu benturan (clash) kebudayaan. Model pertama adalah model dialog dan model kedua ialah tak lain berupa melawan hegemoni itu sendiri.
Model pertama yaitu model dialog oleh banyak pengamat dinilai sebagai suatu model penyelesaian konflik yang paling sedikit mengandung resiko. Dialog ini sendiri seolah mengasumsikan bahwa pihak yang terlibat konflik (yaitu Barat maupun Islam /non Barat) ini memang diposisikan dengan posisi sejajar untuk mau saling mengerti satu sama lain. Namun para pakar yang mengidealkan cara ini seolah melupakan kenyataan bahwa syahwat hegemoni Barat ini adalah suatu yang sudah laten dalam tradisi mereka. Bisa dikatakan bahwa upaya mengajak Barat bersikap lebih adil adalah suatu bentuk utopia di tengah menggebunya nafsu mereka (barat) dalam menguasai dunia.
Maka setelah cara dialog ini dinilai utopis dalam menyelesaikan konflik, maka sebagai jalan penyelesaian yang tidak bisa dihindari adalah melawan hegemoni-hegemoni itu dengan potensi kekuatan yang ada. Caranya tentu saja adalah dengan mencoba mengawali perlawanan ini dengan bersikap kritis terhadap berbagai pengetahuan yang dikembangkan demi epentingan barat. Sikap yang terlalu adaptif hanya akan mengukuhkan dominasi Barat di negeri-negeri Muslim.
Sudah saatnya kaum muslimin di Negara-negara berkembang untuk mencoba lebih bersikap kritis untuk menanggapi wacana global yang digagas oleh Barat. Termasuk disini adalah bersikap kritis terhadap wacana tentang globalisasi sebagai sesuatau yang di niscayakan oleh kaum barat sebagai jembatan untuk menyebarkan suatu ideologi tersembunyi (hidden ideology) mereka yaitu ideologi kebebasan (neo-Lib ideology) yang dampak negatifnya sangat luar biasa.
Memang patut disayangkan sikap sebagian umat Islam yang mengaku bersikap liberal tapi hakikatnya justru telah terbaratkan ini. Alangkah aneh jika kita melihat mereka yang mengaku Islam kemudian beramai-ramai menolak kehadiran syari’at Islam. Bahkan memperparah keanehan itu dengan sikap mereka yang kemudian begitu terbius oleh praktek neoliberalisme yang pada hakikatnya justru menghancurkan mereka sendiri dan juga bangsa ini. Mengapa begitu?
Hal itu tak lain karena syariat liberalisme pada hakekatnya diciptakan sebagai pembuka dan pelegitimasi rasional atas segala bentuk penjajahan Barat terhadap Negara Islam yang mayoritas adalah Negara berkembang yang disini tercantum pula nama Negara kita tercinta. Siapa lagi kalau bukan INDONESIA. Wallahu a’lam bi shawab (dari berbagai sumber).
Apapun motif, model dan pihak yang terlibat dalam konflik, maka keberadaan suatu realitas dunia yang penuh konflik ini kelak akan menimbulkan aneka bencana kemanusiaan yang begitu dahsyat, di mana Negara-negara berkembang –termasuk negera Muslim- akan menjadi korban utamanya.
Adanya konflik yang dipicu oleh semangat imperialisme telah pula membuat jurang pemisah antar Negara yang mendominasi dan Negara yang didominasi yang dulunya telah menganga itu kini menjadi semakin lebar. Tentu saja hal ini tidak boleh lagi dibiarkan oleh kita selaku bagian dari masyarakat dunia mengingat jika hal itu terjadi maka bukan mustahil akan lahir di dunia ini suatu situasi dimana kelompok dominan selaku the first class bisa sewenang-wenang atas kelompok Negara yang notabenenya di dominasi. Oleh karena itu, maka banyak pakar kebudayaan dunia yang kemudian mencoba memecahkan dilema ini dengan merumuskan aneka solusi penyelesaian.
Dari semua solusi itu sendiri kemudian dapat disimpulkan bahwa setidaknya ada dua model penyelesaian dalam rangka meminimalisir efek akibat adanya suatu benturan (clash) kebudayaan. Model pertama adalah model dialog dan model kedua ialah tak lain berupa melawan hegemoni itu sendiri.
Model pertama yaitu model dialog oleh banyak pengamat dinilai sebagai suatu model penyelesaian konflik yang paling sedikit mengandung resiko. Dialog ini sendiri seolah mengasumsikan bahwa pihak yang terlibat konflik (yaitu Barat maupun Islam /non Barat) ini memang diposisikan dengan posisi sejajar untuk mau saling mengerti satu sama lain. Namun para pakar yang mengidealkan cara ini seolah melupakan kenyataan bahwa syahwat hegemoni Barat ini adalah suatu yang sudah laten dalam tradisi mereka. Bisa dikatakan bahwa upaya mengajak Barat bersikap lebih adil adalah suatu bentuk utopia di tengah menggebunya nafsu mereka (barat) dalam menguasai dunia.
Maka setelah cara dialog ini dinilai utopis dalam menyelesaikan konflik, maka sebagai jalan penyelesaian yang tidak bisa dihindari adalah melawan hegemoni-hegemoni itu dengan potensi kekuatan yang ada. Caranya tentu saja adalah dengan mencoba mengawali perlawanan ini dengan bersikap kritis terhadap berbagai pengetahuan yang dikembangkan demi epentingan barat. Sikap yang terlalu adaptif hanya akan mengukuhkan dominasi Barat di negeri-negeri Muslim.
Sudah saatnya kaum muslimin di Negara-negara berkembang untuk mencoba lebih bersikap kritis untuk menanggapi wacana global yang digagas oleh Barat. Termasuk disini adalah bersikap kritis terhadap wacana tentang globalisasi sebagai sesuatau yang di niscayakan oleh kaum barat sebagai jembatan untuk menyebarkan suatu ideologi tersembunyi (hidden ideology) mereka yaitu ideologi kebebasan (neo-Lib ideology) yang dampak negatifnya sangat luar biasa.
Memang patut disayangkan sikap sebagian umat Islam yang mengaku bersikap liberal tapi hakikatnya justru telah terbaratkan ini. Alangkah aneh jika kita melihat mereka yang mengaku Islam kemudian beramai-ramai menolak kehadiran syari’at Islam. Bahkan memperparah keanehan itu dengan sikap mereka yang kemudian begitu terbius oleh praktek neoliberalisme yang pada hakikatnya justru menghancurkan mereka sendiri dan juga bangsa ini. Mengapa begitu?
Hal itu tak lain karena syariat liberalisme pada hakekatnya diciptakan sebagai pembuka dan pelegitimasi rasional atas segala bentuk penjajahan Barat terhadap Negara Islam yang mayoritas adalah Negara berkembang yang disini tercantum pula nama Negara kita tercinta. Siapa lagi kalau bukan INDONESIA. Wallahu a’lam bi shawab (dari berbagai sumber).
SUMBER : http://fuadpaimo.blogdetik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar