Andaikan pendapat Prof Dr Franz Magnis Suseno menjadi kenyataan, alangkah malangnya nasib bangsa ini. Dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan Senat Mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Indonesia (UI) di Kampus UI Depok. Sabtu pekan lalu, Magnis mengatakan, Indonesia akan tinggal kenangan jika dalam sepuluh tahun ke depan para pemimpin tidak dapat menyadari pluralitas bangsa (Kompas,27/2).
Pendapat Magnis kiranya berangkat dari kenyataan bahwa konflik dan kerusuhan antarsuku, agama, ras, dan golongan di Indonesia terasa tidak makin menyurut, tetapi justru sebaliknya meningkat. Konflik antara suku Dayak dan Madura di Sampit, Kalimantan Tengah, yang kini masih membara merupakan salah satu contohnya. Sulit memungkiri kenyataan bahwa berbagai konflik dan kerusuhan sosial kini menjadi semacam kecenderungan baru di dalam masyarakat kita.
Apakah itu berarti bahwa mimpi buruk seperti yang diramalkan oleh Prof Samuel P Hutington tentang the clash of civilizations menjadi kenyataan? Dalam artikelnya di Foreign Affairs (1993) yang berjudul the clash of civilizations (dibukukan dengan judul yang sama) Huntington berpendapat, perang masa depan tidak lagi perang antara negara-negara nasional atau perang antara kekuatan-kekuatan modal, tetapi perang antar kultur, antar peradaban. Maklum, dengan globalisasi, batas negara nasional dan batas kekuatan modal akan kabur dengan sendirinya. Yang masih ada hanyalah batas kultural. Perbedaan peradaban inilah yang akan menjadi medan laga bagi peperangan di masa depan (masa kini).
Bahkan Huntington berpendapat, bentrok peradaban ini merupakan ancaman terbesar terhadap perdamaian dunia. Akan tetapi sebaliknya, tatanan internasional berdasarkan peradaban merupakan jaminan yang sangat meyakinkan untuk melawan perang dunia.
Ada enam alasan mengapa terjadi benturan antarperadaban. Pertama, perbedaan antarperadaban tidak hanya nyata tetapi juga mendasar. Kedua, dunia sekarang semakin menyempit. Interaksi antar orang yang berbeda peradaban semakin meningkat. Ketiga, proses modernisasi ekonomi dan sosial dunia membuat orang atau masyarakat tercerabut dari indentifikasi lokal mereka yang sudah berakar dalam, selain memperlemah negara-bangsa sebagai sumber identitas mereka. Keempat, tumbuhnya kesadaran peradaban dimungkinkan karena peran ganda Barat. Disatu sisi, Barat berada di puncak kekuatan dan di sisi lain kembalinya ke fenomena asal. Kelima karasteristik dan perbedaan budaya kurang bisa menyatu dan karena itu kurang bisa berkompromi dibanding karakteristik dan perbedaan politik dan ekonomi. Keenam, regionalisme ekonomi semakin meningkat.
Apakah pendapat Huntington itu benar atau tidak, bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah atau tidak, yang jelas pendapat tersebut hingga sekarang masih tetap dibicarakan banyak orang. Bukan hanya dibicarakan, melainkan juga dipakai sebagai acuan untuk membedah sebuah konflik dan kerusuhan sosial. Ketika saat ini pecah konflik di Sampit pun, pendapat Huntington itupun kembali dibongkar-bongkar (paling tidak dalam tulisan pendek ini, oleh karena ada yang berpendapat salah satu akar konflik di Sampit adalah adanya perbedaan kultur yang begitu tajam antara etnis Madura dan Dayak).
Contoh kasus
Ramalan Huntington, kalau boleh dibilang begitu, sebenarnya telah didukung oleh peristiwa sejarah yang terjadi dikawasan Balkan, di Yugoslavia, pasca pemerintahan Josip Broz Tito: keragaman yang di satu sisi merupakan kekayaan dan kekuatan, berbalik menjadi sumber perpecahan ketika leadership yang mengikat lengser.
Tiga hari sebelum hari ulang tahunya yang ke-88, Josip Broz Tito meninggal. Hari itu tanggal 4 Mei 1980. Tidak ada yang menyadari, hari itu adalah awal “meninggalnya” sebuah negara yang disebut Republik Federal Sosialis Yugoslavia.
Yugoslavia adalah sebuah negara yang terdiri dari delapan unit federal: enam republik (Bosnia-Herzegovina, Montenegro, Serbia, dan Slovenia) dan dua provinsi Serbia (Kosovo dan Vojvodina).
Ada bom waktu yang ditinggalkan Tito. Yakni masalah perbedaan etnis. Selama Tito berkuasa, masalah itu tidak pernah diselesaikan bahkan seolah hanya disimpan di lemari es. Dengan pemerintahan tangan besi, Tito memaksakan persatuan hidup di Yugoslavia.
Berbagai cara dilakukan Tito untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan Yugoslavia. Menurut Niccolo Machiavelli, penguasa yang tangguh tidak pernah membiarkan bibit-bibit ancaman tumbuh. Namun, bila hal itu sempat muncul bahkan menimbulkan kerusuhan, haruslah segera diatasi sebelum menjalar dan menjadi besar. Jangan pula ragu menggunakan kekuatan senjata, sebab perang yang ditunda hanya menguntungkan pihak lain (Niccolo Machiavelli, Politik Kekuasaan)
Prinsip itu pula yang kurang lebih ditempuh Tito. Ia yang etnis Kroasia, menyingkirkan seluruh pemimpin Serbia yang ambisius, dan menggantikannya dengan sosok yang lebih setia kepadanya.
Setelah Tito meninggal, Yugoslvia ibarat sapu lidi yang ikatannya putus, lidinya tercerai berai. Sebab utamanya adalah begitu kuatnya ego para elite politiknya, begitu kuatnya ego etnis-etnis tertentu, dan kelompok-kelompok tertentu untuk berjuang dan mementingkan diri sendiri atau etnis atau kelompoknya.
Yugoslavia hancur karena persatuan yang pernah terjadi hanyalah semu, bersatu karena genggaman tangan besi. Kisah yang sama terjadi pula di Uni Soviet. Kebangkrutan komunisme disusul oleh pernyataan kemerdekaan 15 republik yang sebelumnya bergabung membentuk Uni Soviet. Belakangan 11 Republik membentuk persemakmuran negara-negara merdeka (CIS). Akan tetapi, perikatan mereka sudah longgar tidak seperti dulu lagi.
Negeri itu, Yugoslavia, hancur karena persatuan yang pernah tercipta semu, dipaksakan, dan dikembangkan secara tidak adil. Serbia, misalnya, ketika itu mengeluhkan pembangunan republik mereka yang ketinggalan, ketimbang Kroasia dan Slovenia. Berkembangnya ketikapuasan ekonomi ini akhirnya mendorong isu Kosovo muncul.
Etnis Albania di Provinsi Kosovo menuntut otonomi yang lebih besar dengan status republik penuh serta kedaulatan tersendiri. Ujungnya adalah Yugoslavia tercerai berai. Itulah cerita kelabu Yugoslavia.
Sebuah Indonesia
Apakah Indonesia juga akan bernasib malang seperti Yugoslavia? Itu sebuah pertanyaan besar yang saat ini terus bergema di mana-mana, di setiap sudut pelosok negeri ini. Tentu, semua ini berdasarkan kenyataan di lapangan yang carut-marut dan porak-poranda akibat berbagai ragam konflik, akibat kuatnya tuntutan kemerdekaan dari sejumlah wilayah.
Akan tetapi, mereka yang berpendapat optimis akan mengatakan nasib Indonesia tidak akan seburuk Yugoslavia. Sebab , bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang agamis, penuh pengertian dan tenggang rasa, berbudaya tinggi. Akan tetapi yang berpendapat pesimistis akan dengan mudah mematahkan argumentasi itu dengan mengatakan, bukankah di sini agama justru sering dikaitkan dengan fenomena kekerasan.
Kenyataan di lapangan, memang cenderung mempertanyakan di manakah sebenarnya agama berada atau barangkali apa sesungguhnya peran agama? Semua orang tahu bahwa agama mengajarkan perdamaian dan menentang kekerasan. Persoalannya adalah manusia menyalahgunakan agama untuk kepentingan pribadi atau kelompok sehingga menyulut kekerasan.
Padahal, agama baru menjadi kongkrit sejauh dihayati oleh pemeluknya. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana agama bisa menjadi dasar suatu etika untuk mengatasi kekerasan?
Sebelum pertanyaan itu terjawab, temuan atau kenyataan di lapangan juga membenarkan ramalan Huntington. Boleh dikatakan, Indonesia kini sedang menghadapi sebuah perubahan yang mahadahsyat. Perubahan itu begitu dahsyat oleh karena menyangkut “krisis nilai” Hal itu ditunjukkan dengan adanya konflik etnis dan agama. Konflik etnis di Sampit, merupakan salah satu contohnya yang paling baru.
Konflik itu terlihat begitu sulit diatasi oleh karena mengandung berbagai faktor. Misalnya, ekonomi, kebijakan politik regional, dan sentimen-sentimen atas posisi jabatan. Yang lebih rumit lagi, ada kecenderungan konflik itu dibungkus dengan sebuah ilusi, sebuah impian untuk membentuk kelompok eksklusif.
Eksklusivitas biasanya berdalih melindungi diri dari kontaminasi dan menjaga kemurnian kelompok. Sesuatu yang berbeda atau baru tidak diterima bila tidak sesuai dengan tipe-tipe yang dimiliki. Kecenderungan semacam itulah yang kini terjadi.
Dengan kata lain, barangkali dapat dikatakan apa yang terjadi sekarang ini adalah sebuah pergeseran atau ayunan dari nasionalisme ke arah sukuisme. Apabila hal itu benar, maka babak selanjutnya akan jauh mengerikan. Mengapa? Sebab, bukan mustahil yang muncul dalam babak selanjutnya adalah munculnya negara-negara baru dengan ideologi kesukuan disertai dengan sentimen baru.
Sentimen baru itu adalah sentimen primitif yang sengaja dilahirkan untuk menunjukkan ke-aku-an suku (kelompok). Tujuannya adalah untuk membedakan dengan suku dan kelompok lain. Semua itu dibangun dengan identitas-identitas lokal yang primordial sehingga melahirkan kerusuhan dan kekerasan antar etnis. Itulah yang kini tengah dialami, dirasakan Indonesia, sebuah negara yang sangat kaya akan suku, bahasa, etnis, dan agama. Bila, kerusuhan dan konflik antar etnis, misalnya, dibiarkan atau salah penanganannya bukan mustahil sejarah bangsa ini akan memasuki zaman kesukuan baru. Yakni, sebuah zaman yang penuh intrik antar-Identitas dan meruntuhkan republik kesatuan RI.
Dan, Indonesia pun akan tinggal kenangan. Tragis! Tetapi, ini sebuah kekonyolan karena kita tidak mau belajar dari apa yang telah dialami Yugoslavia dan Uni Soviet, misalnya. Sekali pecah, itu berarti selamanya pecah. Apakah hal itu yang dikehendaki?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar